Melawan Stockaphobia
Berinvestasi di saham tidak segampang diucapkan. Harga saham yang fluktuatif dan rawan terhadap aksi jual masif merupakan momok yang bikin keder calon investor. Mirip dengan orang yang ingin belajar berenang. Langkah pertama masuk ke kolam renang adalah yang paling sulit. Mereka membayangkan betapa mengerikannya jika sampai tenggelam.
Seseorang bisa menderita ‘Stockaphobia’, yakni penyakit takut terhadap saham. Penyebabnya bisa berbagai macam. Mungkin ia melihat temannya atau saudaranya mengalami kerugian besar di bursa saham saat krisis keuangan 1998 atau 2008. Saya sajikan sebuah email yang masuk ke akun gmail saya, sebut saja dari Polan.
“Saya ingin belajar cara berinvestasi yang benar. Sejak tahun 2004 saat IPO Bank Mandiri dan Bank BRI saya mulai belajar investasi saham. Tahun 2007 saya pernah ikut workshop tentang stock option dan forex, namun tidak berani praktek. Tahun 2008 pernah ikut workshop teknikal saham, kemudian terjadi crash pasar saham sehingga saya tidak berani trading dan beralih ke pasar forex. Oktober 2008 saya mengikuti training analisis teknikal untuk forex. Selama itu saya hanya jadi penonton untuk pasar saham karena uang rupiah saya jadikan dolar di tabungan sampai tahun 2011 ini. Sampai sekarang saya belum menemukan panduan bagaimana cara memilih saham yang baik. Awal Oktober 2011 pada saat saham BBRI dan BMRI harganya 5300-an dan PER 9x, saya juga hanya menjadi penonton sebab takut turun lagi. Hari ini, Jumat, 28 Oktober 2011, harganya sudah Rp7000-an, dan PER sudah 13-14x. Ilmu apa yang harus saya pelajari agar dapat berhasil di pasar saham tanpa hanya modal nekat dan hoki saja. Apakah CFA (Certified Financial Analyst) atau teknik membaca laporan keuangan, atau harus gabung dengan komunitas saham di yahoogroups atau twitter, dll?”
Jelas bahwa Polan tertarik dan tahu cukup banyak tentang konsep investasi saham namun tidak pernah terjun langsung membeli saham. Ia hanya mengamati, bukan mengalami. Untuk melawan rasa takut pada potensi kerugian investasi saham, calon investor bisa berpikir bahwa investasinya berjangka panjang. Selain itu, ia harus berinvestasi pada saham-saham perusahaan dengan berfundamental kuat. Kinerja perusahaan seperti ini umumnya lebih tahan terhadap krisis keuangan. Logikanya, selama ekonomi masih bertumbuh, saham perusahaan ini akan naik. Sentimen negatif dan kepanikan investor atau spekulan di bursa hanya berpengaruh sesaat terhadap kinerja saham seperti ini.
Perlu digarisbawahi bahwa investasi pada saham tidak identik dengan harus melakukan trading yang mengandalkan market timing. Keberhasilan trading saham ditentukan oleh 3 faktor: metoda untuk memprediksi arah harga saham, kedisiplinan dalam membeli dan menjual saham serta emosi. Masalahnya, tidak semua trader memiliki ketiga hal tersebut, terutama faktor emosi. Karena permainannya bersifat jangka pendek, risiko trading saham menjadi lebih tinggi.
Keberhasilan buy and hold ditentukan oleh 2 faktor: metoda memilih saham yang undervalue dan kedisiplinan dalam membeli dan menjual. Tentunya target harga atau imbal hasil saat kita membeli. Jika target imbal hasil sudah tercapai, kita bisa segera memetik imbal hasil tersebut. Selama kita tidak menggunakan dana utang untuk berinvestasi, risiko dari strategi ini relatif terkendali. Namun strategi ini menuntut ketahanan mental terhadap turunnya harga saham secara tajam. Jangan pernah menjual saham saat kepanikan melanda bursa saham.
Dalam memilih saham berfundamental bagus dengan harga murah, Price Earnings Ratio (PER) bisa digunakan sebagai indikator utama. Namun kita juga harus memperhatikan aspek-aspek fundamental lainnya seperti potensi pertumbuhan penjualan dan laba bersih, struktur modal, likuiditas dan kualitas manajemen. Membaca analisis fundamental dari analisis saham yang bagus rekam jejaknya bisa membantu. Tak perlu CFA untuk menjadi investor saham. Berpikirlah minimalis: saya membeli saham perusahaan ini karena yakin bahwa perusahaan ini memiliki bisnis yang bagus dan dikelola secara profesional.