Casino Mentality di Bursa Saham

Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh, menilai bahwa krisis keuangan global 2008 meledak gara-gara para investor/trader di pasar modal mengubah bursa saham menjadi kasino, tempat berjudi. Mungkin pernyataan Yunus kini lebih tepat menggambarkan kondisi bursa saham di China periode 2015-2016.

Perkembangan bursa saham China (Shanghai dan Shen Zhen) memang fantastis. Sekitar 90% dari akun trading di China dimiliki oleh retail investor. Celakanya, mayoritas trader/investor saham di China memandang bursa saham seperti kasino, tempat mengadu peruntungan untuk bisa cepat kaya. Mereka tidak punya pengetahuan dan keterampilan trading atau investasi saham. Sama seperti seorang penjudi yang bermain di kasino, tidak perlu pengetahuan dan keterampilan alias mengandalkan keberuntungan dan kenekadan. Maka tak heran jika volatilitas saham di bursa saham China adalah salah satu yang tertinggi di dunia.

Pada periode 2015-2016, harga saham di bursa saham China sempat melonjak hingga 150% akibat dorongan beli yang masif. Stock market bubble ini kemudian meletus, merugikan banyak trader/investor. Namun semua kerugian itu tidak membuat kapok. Bahkan jumlah trader di bursa saham China makin bertambah.

Casino mentality yang melanda trader saham, terutama para trader pemula, ditemukan di semua bursa saham termasuk di Indonesia. Siapakah yang termasuk trader dengan casino mentality? jawabnya, mereka yang punya kemiripan atribut dengan para penjudi yang datang ke kasino. Penjudi di kasino biasanya (1)bermimpi meraup keuntungan dalam waktu sekejap, (2)tidak punya rencana, tidak memahami probabilitas, (3)tidak tahu kapan harus berhenti berjudi, dan (4)berjudi berdasarkan rasa nekad gut feel atau emosi.

Akibat dari casino mentality di antara trader saham, harga saham naik turun secara dramatis tanpa alasan yang jelas. Ambil contoh saham PT. Bumi Resources, Tbk (BUMI). Saham batubara “sejuta umat” ini benar-benar “tidak ada matinya”. Setelah sempat tidur panjang di harga Rp50 sejak tahun 2015, saham ini mendadak mendusin pada pertengahan 2016. Harganya mulai melonjak pada Oktober 2016, dan sebulan kemudian sudah mencapai Rp300. Hal ini wajar karena harga batubara melonjak dan keberhasilan restrukturisasi utangnya.

Namun ketika harga batubara mulai turun, harga saham BUMI justru makin melesat. Akhir Januari, harga saham BUMI menyentuh Rp505, padahal tidak ada sentimen fundamental yang kuat sehingga kenaikan tersebut lebih karena tindakan spekulasi yang masif. Tanggal 21 Februari 2017, harga saham BUMI longsor tinggal Rp294. Keesokan harinya naik kembali menjadi Rp368. AksiĀ  spekulatif trader saham harian cukup masif ini terlihat jelas dari jumlah dan nilai transaksi harian yang tidak wajar.

Sikap para trader saham yang cenderung menganggap bursa saham seperti kasino seharusnya menjadi perhatian otoritas bursa. Jika dibiarkan dan jumlahnya makin bertambah, risiko (ketidakpastian) investasi saham semakin tinggi karena volatilitas harga saham semakin meningkat. Padahal dari survey diketahui bahwa naik turun yang terlalu tajam harga saham merupakan penyebab utama masyarakat tidak bersedia membeli saham. Maka akan semakin sulit bagi pihak Otoritas Jasa Keuangan maupun BEI untuk mempromosikan saham sebagai alternatif investasi jangka panjang.

Memang tidak mungkin untuk melarang para trader berperilaku seperti penjudi di kasino. Namun perilaku ini bisa dibatasi dengan mempersempit rentang harga yang bisa diperdagangkan. Saat ini peraturan auto rejection BEI mengatur rentang harga saham Rp50-200 bisa naik dan turun hingga lebih dari 35% dalam sehari. Saham-saham di rentang harga rendah ini yang justru rentan untuk menjadi objek spekulasi. Relakah kita jika ada yang mengatakan “Bursa saham adalah kasino”?

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *